MENGELOLA PERILAKU GURU BERDASARKAN
KONSEP ISLAM PADA LEBAGA PENDIDIKAN
A.
PENDAHULUAN
Guru
merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar
terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam
membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara
optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga
ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal
(Mulyasa, 2005:10).
Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya
kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar
pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai
realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward
siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila
terhadap siswanya. Ada kesedihan yang menyelinap ketika guru mengunakan
obat-obat terlarang bersama siswanya.
Kesalahan
guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru
secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya
sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa,
menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat
memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari
sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah
frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak
benar.
Untuk itulah
makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat
berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini
berdasarkan konsep Islam.
B.
PEMBAHASAN
1.
Konsep
Dasar Sikap dan Perilaku
Berkowitz,
dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah
perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan
untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif,
yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari
sesuatu.
Menurut Mann
dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak
menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata
seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya
ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Dari
pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan,
pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan
bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan
negatif dalam menghadapi suatu objek. Sedangkan perilaku merupakan bentuk
tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi.
2.
Kode
Etik Profesi Guru
Kode
etik berasal dari dua kata, yaitu kode yang berarti tulisan (kata-kata, tanda)
yang dengan persetujuan mempunyai arti atau maksud yang tertentu (untuk
telegram dan sebagainya); sedangkan etik, dapat berarti aturan tata susila,
sikap atau akhlak (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991). Dengan demikian, kode
etik secara kebahasaan berarti ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata
susila dan akhlak.
Menurut
Abuddin Nata (2003) kode etik atau akhlak adalah tingkah laku yang memiliki
lima ciri (jika perbuatan yang dilakukan memiliki lima ciri ini, barulah
perbuatan itu dapat disebut perbuatan akhlak atau kode etik) sebagai berikut:
a) Tingkah
laku yang telah diperbuat itu telah mendarah daging dan menyatu menjadi
kepribadian yang membedakan antara satu individu dengan individu lainnya.
b) Tingkah
laku tersebut sudah dapat dilakukan dengan mudah dan tampa memerlukan pemikiran
lagi. Hal ini disebabkan akibat dari keadaan perbuatan tersebut yang sudah
mendarah daging.
c) Perbuatan
yang dilakukan itu timbul atas tekanan dari orang lain.
d) Perbuatan
yang dilakukan itu berada dalam keadaan yang sesungguhnya, bukan berpura-pura
atau bersandiwara.
e) Perbuatan
tersebut dilakukan atas dasar niat semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan
yang dimaksud bernilai ibadah dan kelak mendapat balasan di sisi Allah SWT.
Dengan
demikian, kode etik atau akhlak adalah suatu istilah atau wacana yang mengacu
kepada seperangkat perbuatan yang memiliki nilai, baik atau buruk, pantas atau
tidak pantas, sopan atau tidak sopan. Kode etik tersebut harus dimiliki oleh
setiap pekerja profesional, termasuk guru. Guru yang berperilaku baik,
disenangi dan disayangi siswanya dalam belajar dan menjadi contoh bagi siswa
dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang
guru profesional harus berpegang teguh pada kode etik. Kode etik di sini lebih
dikhususkan lagi tekanannya pada perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan
akhlak yang demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh, dan
teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau nasehat yang
diberikannya kepada para siswa akan didengarkan dan dilaksanakan dengan baik.
Tentang perlunya akhlak yang baik bagi seorang guru yang profesional ini sudah
lama menjadi perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn Muqaffa
(dalam Abuddin Nata) mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mau
berusaha memulai dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya,
melururskan pikirannya dan menjaga kata-katanya terlebih dahulu sebelum
menyampaikan kepada orang lain.
Sementara
itu Imam al-Ghazali (dalam Abuddin Nata) menyatakan bahwa seorang guru yang
menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati bersih, berbuat dan bersikap yang
terpuji. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa guru harus bersikap sebagai
pengayom, berkasih sayang terhadap murid-muridnya, dan hendaknya memperlakukan
mereka seperti anak sendiri. Guru harus selalu mengontrol, menasehati,
memberikan pesan-pesan moral tentang ilmu dan masa depan anak didiknya dan
tidak membiarkan mereka melanjutkan pelajarannya kepada yang lebih tinggi
sebelum menguasai pelajaran sebelumnya dan memiliki akhlak yang mulia.
Keseimbangan perkembangan keilmuan (akal) dan akhlak (hati-perilaku) merupakan
hal yang harus dikontrol oleh guru.
3.
Sikap
dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah
sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain
melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal
bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun
dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun
paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa
sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi.
Latar
belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas
pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam
kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan.
Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran
ada tujuh kesalahan (Mulyasa, 2005). Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
a) mengambil
jalan pintas dalam pembelajaran
b) menunggu
peserta didik berperilaku negatif,
c) menggunakan
destruktif discipline,
d) mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
e) merasa
diri paling pandai di kelasnya,
f) tidak adil
(diskriminatif), serta
memaksakan hak peserta didik.
Untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus
memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang
Dosen dan Guru, yakni:
a) kompetensi
pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
b) kompetensi
kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
c) kompetensi
profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
d) kompetensi
sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar.
Menurut
penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang
dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia
pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama,
menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati
siswa secara utuh. Kedua, guru
merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa
mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai
panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata
pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat
antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua.
Terkait
dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari
sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain
adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau
kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62).
Namun
sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona
dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi
teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini
bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin
menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi.
Menurut
Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati.
Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk
mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang
harus dimiliki seorang guru, antara lain:
a) kasih sayang,
b) penghargaan,
c) pemberian ruang
untuk mengembangkan diri,
d) kepercayaan,
e) kerjasama,
f) saling berbagi
g) saling memotivasi
h) saling mendengarkan
i)
saling berinteraksi secara positif
j)
saling menanamkan nilai-nilai moral,
k) saling
mengingatkan dengan ketulusan hati,
l)
saling menularkan antusiasme,
m) saling
menggali potensi diri,
n) saling
mengajari dengan kerendahan hati,
o) saling
menginsiprasi,
p) saling
menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan
memiliki dan menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan
memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.
4.
Faktor
Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan
merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil
yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa
merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa
dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru
mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu.
Jika ada
pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi
beberapa faktor. Pertama, adanya
malpraktik yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam
menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun
pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa
secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional
guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik,
mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan
guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya.
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti
di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun
ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai
mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat
siswa kebanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi
pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan.
Selain dari
ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang
diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga,
yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan
berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah.
Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber
kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan
hawa nafsu.
Jika
pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan.
Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak
terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia
berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu
mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan
perilaku dapat dihindari.
Faktor lain,
yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang adalah sebagai kerikut:
a)
Longgarnya pengangan terhadap agama.
Sudah
menjadi tragedi dari dunia maju, dimana dari segala sesuatu hampir dapat
dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak,
kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan
Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran
agama, maka hilang kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Tetapi jika
setiap orang (siswa, guru, dan kepala sekolah) teguh keyakinannya kepada Tuhan
serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya
pengawasan yang ketat (misalnya pengawasan Kepala Sekolah kepada guru-guru),
karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar
peraturan sekolah yang ditetapkan dan hukum-hukum dan ketentuan-ketenyuan
Tuhan.
b)
Kurng efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh
rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
Pembinaan
moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut yang
semestinya. Pembinaan moral di rumah tangga harus dilakukan dari sejak anak
maih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir,
belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-basat
dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan
dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga
bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumus tentang baik dan buruk,
melainkan harus dibiasakan.
Sekolah pun
dapat mengambil peran yang penting dalam membina moral anak didik. Sekolah
menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral
anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan
kecerdasan. Dengan demikian, sekolah menjadi lapangan sosial bagi anak-anak,
dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian
dapat berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu,
pendidikan agama di sekolah harus dilakukan secara intensif agar ilmu dan amal
dapat dirasakan anak didik di sekolah. Karena apabila pendidikan agama di
abaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima di rumah tidak akan
berkembang, bahkan mungkin terhalang.
Selanjutnya
masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang
lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri,
keluarga dan orang-orang yang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat
itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya
kerusakan morar di kalangan pelajar, dan guru, karena tidak efektifnya keluarga,
sekolah, dan masyarakat dalam pembinaan
moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang
dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
c)
Derasnya arus budaya materialistik, hedonistik, dan
sekularistik.
Sekarang ini
sudah sering kita dengar dari radio, bacaan surat kabar, dan berita di TV
tentang anak sekolah dan bahkan guru yang ditemukan polisi mengantongi
obat-obat terlarang, alat-alat kontrasepsi seperti kondom, mencabuli anak di
bawah umur, menyimpan benda-benda tajam. Semua alat tersebut biasanya digunakan
untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun penyimpangan tersebut terjadi
karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa
nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
d)
Belum ada kemauan yang sungguh-sungguh dari
pemerintah.
Pemerintah
yang diketahui memiliki kekuasaan (power),
uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukkan
kemauan yang sungguh-sumgguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang
demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang
semata-mata mengejar kedudukan, peluang, dan kekayaan dengan cara-cara yang
tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum
ada tanda-tanda untuk hilang.
Bagaimanapun
juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia
internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu
membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia
Indonesia seutuhnya.
C.
PENUTUP
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah
mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi
dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan
perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun
karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan,
pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling
berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara
positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan
ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri,
saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati
perbedaan.
Sikap dan
perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya
berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu
mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif. Para
pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai
memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia
pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdul Rozak. 2011. Filsafat Etika
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Azwar Saifuddin. 2000. Sikap
Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mar'at. 1981. Sikap Manusia
Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru
Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abuddin Nata. 2003. Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada
Media.
Ronnie M. Dani. 2005. Seni Mengajar
dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo.
R. Tantiningsih. 2005. Guru
Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005.
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri.
Walgito. Bimo 1990. Psikologi Sosial
Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Sumber
: http://yudhim.blogspot.com/2008/01/sikap-dan-perilaku-guru-yang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar