SELAMAT DATANG DI BLOG KU

Senin, 13 Mei 2013

Mengelola Perilaku Guru Berdasarkan Konsep Islam pada Lembaga Pendidikan



MENGELOLA PERILAKU GURU BERDASARKAN KONSEP ISLAM PADA LEBAGA PENDIDIKAN
A.    PENDAHULUAN
Guru merupakan sosok yang begitu dihormati lantaran memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal (Mulyasa, 2005:10).

Minat, bakat, kemampuan, dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual. Tugas guru tidak hanya mengajar, namun juga mendidik, mengasuh, membimbing, dan membentuk kepribadian siswa guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM).
Ironisnya kekawatiran di dunia pendidikan kini menyeruak ketika menyaksikan tawuran antar pelajar yang bergejolak dimana-mana. Ada kegalauan muncul kala menjumpai realitas bahwa guru di sekolah lebih banyak menghukum daripada memberi reward siswanya. Ada kegundahan yang membuncah ketika sosok guru berbuat asusila terhadap siswanya. Ada kesedihan yang menyelinap ketika guru mengunakan obat-obat terlarang bersama siswanya.   
Dunia pendidikan yang harusnya penuh dengan kasih sayang, tempat untuk belajar tentang moral, budi pekerti justru sekarang ini dekat dengan tindak kekarasan dan asusila. Dunia yang seharusnya mencerminkan sikap-sikap intelektual, budi pekerti, dan menjunjung tinggi nilai moral, justru telah dicoreng oleh segelintir oknum pendidik (guru) yang tidak bertanggung jawab. Realitas ini mengandung pesan bahwa dunia guru harus segera melakukan evaluasi ke dalam. Sepertinya, sudah waktunya untuk melakukan pelurusan kembali atas pemahaman dalam memposisikan profesi guru.
Kesalahan guru dalam memahami profesinya akan mengakibatkan bergesernya fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini telah menyebabkan dua pihak yang tadinya sama-sama membawa kepentingan dan saling membutuhkan, yakni guru dan siswa, menjadi tidak lagi saling membutuhkan. Akibatnya suasana belajar sangat memberatkan, membosankan, dan jauh dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul sehingga pihak-pihak didalamnya mudah frustasi lantas mudah melampiaskan kegundahan dengan cara-cara yang tidak benar. 
Untuk itulah makalah ini saya susun sebagai bahan kajian bagi guru atau pendidik agar dapat berperilaku dan bersikap profesional dalam menjalankan tugas mulia ini berdasarkan konsep Islam.

B.     PEMBAHASAN
1.      Konsep Dasar Sikap dan Perilaku
Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Menurut Mann dalam Azwar (2000) sikap merupakan predisposisi evaluatif yang banyak menentukan bagaimana individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan nyata seringkali jauh berbeda. Hal ini dikarenakan tindakan nyata tidak hanya ditentukan oleh sikap semata namun juga ditentukan faktor eksternal lainnya.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek. Sedangkan perilaku merupakan bentuk tindakan nyata seseorang sebagai akibat dari adanya aksi respon dan reaksi.

2.      Kode Etik Profesi Guru
Kode etik berasal dari dua kata, yaitu kode yang berarti tulisan (kata-kata, tanda) yang dengan persetujuan mempunyai arti atau maksud yang tertentu (untuk telegram dan sebagainya); sedangkan etik, dapat berarti aturan tata susila, sikap atau akhlak (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991). Dengan demikian, kode etik secara kebahasaan berarti ketentuan atau aturan yang berkenaan dengan tata susila dan akhlak.
Menurut Abuddin Nata (2003) kode etik atau akhlak adalah tingkah laku yang memiliki lima ciri (jika perbuatan yang dilakukan memiliki lima ciri ini, barulah perbuatan itu dapat disebut perbuatan akhlak atau kode etik) sebagai berikut:
a)      Tingkah laku yang telah diperbuat itu telah mendarah daging dan menyatu menjadi kepribadian yang membedakan antara satu individu dengan individu lainnya.
b)      Tingkah laku tersebut sudah dapat dilakukan dengan mudah dan tampa memerlukan pemikiran lagi. Hal ini disebabkan akibat dari keadaan perbuatan tersebut yang sudah mendarah daging.
c)      Perbuatan yang dilakukan itu timbul atas tekanan dari orang lain.
d)     Perbuatan yang dilakukan itu berada dalam keadaan yang sesungguhnya, bukan berpura-pura atau bersandiwara.
e)      Perbuatan tersebut dilakukan atas dasar niat semata-mata karena Allah, sehingga perbuatan yang dimaksud bernilai ibadah dan kelak mendapat balasan di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, kode etik atau akhlak adalah suatu istilah atau wacana yang mengacu kepada seperangkat perbuatan yang memiliki nilai, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, sopan atau tidak sopan. Kode etik tersebut harus dimiliki oleh setiap pekerja profesional, termasuk guru. Guru yang berperilaku baik, disenangi dan disayangi siswanya dalam belajar dan menjadi contoh bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Seorang guru profesional harus berpegang teguh pada kode etik. Kode etik di sini lebih dikhususkan lagi tekanannya pada perlunya memiliki akhlak yang mulia. Dengan akhlak yang demikian itu, maka seorang guru akan dijadikan panutan, contoh, dan teladan. Dengan cara demikian ilmu yang diajarkan atau nasehat yang diberikannya kepada para siswa akan didengarkan dan dilaksanakan dengan baik. Tentang perlunya akhlak yang baik bagi seorang guru yang profesional ini sudah lama menjadi perhatian dan kajian para ulama Islam di zaman klasik. Ibn Muqaffa (dalam Abuddin Nata) mengatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang mau berusaha memulai dengan mendidik dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, melururskan pikirannya dan menjaga kata-katanya terlebih dahulu sebelum menyampaikan kepada orang lain.
Sementara itu Imam al-Ghazali (dalam Abuddin Nata) menyatakan bahwa seorang guru yang menyampaikan ilmu pengetahuan harus berhati bersih, berbuat dan bersikap yang terpuji. Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa guru harus bersikap sebagai pengayom, berkasih sayang terhadap murid-muridnya, dan hendaknya memperlakukan mereka seperti anak sendiri. Guru harus selalu mengontrol, menasehati, memberikan pesan-pesan moral tentang ilmu dan masa depan anak didiknya dan tidak membiarkan mereka melanjutkan pelajarannya kepada yang lebih tinggi sebelum menguasai pelajaran sebelumnya dan memiliki akhlak yang mulia. Keseimbangan perkembangan keilmuan (akal) dan akhlak (hati-perilaku) merupakan hal yang harus dikontrol oleh guru.

3.      Sikap dan Perilaku Guru yang Profesional
Pemerintah sering melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas guru, antara lain melalui seminar, pelatihan, dan loka karya, bahkam melalui pendidikan formal bahkan dengan menyekolahkan guru pada tingkat yang lebih tinggi. Kendatipun dalam pelakansaannya masih jauh dari harapan, dan banyak penyimpangan, namun paling tidak telah menghasilkan suatu kondisi yang yang menunjukkan bahwa sebagian guru memiliki ijazah perguruan tinggi. 
Latar belakang pendidikan ini mestinya berkorelasi positif dengan kualitas pendidikan, bersamaan dengan faktor lain yang mempengaruhi. Walaupun dalam kenyataannya banyak guru yang melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang seringkali tidak disadari oleh guru dalam pembelajaran ada tujuh kesalahan (Mulyasa, 2005). Kesalahan-kesalahan itu antara lain: 
a)      mengambil jalan pintas dalam pembelajaran
b)      menunggu peserta didik berperilaku negatif, 
c)      menggunakan destruktif discipline, 
d)     mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik,
e)       merasa diri paling pandai di kelasnya, 
f)       tidak adil (diskriminatif), serta 
memaksakan hak peserta didik. 
Untuk mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut maka seorang guru yang profesional harus memiliki empat kompetensi. Kompetensi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Dosen dan Guru, yakni:
a)       kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik,
b)       kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik,
c)       kompetensi profesional adalah kamampuan penguasaan materi pelajaran luas mendalam,
d)      kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Menurut penuturan R.Tantiningsih dalam Wawasan 14 Mei 2005, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan agar beberapa sikap dan perilaku menyimpang dalam dunia pendidikan dapat hindari, diantaranya: Pertama, menyiapakan tenaga pendidik yang benar-benar profesional yang dapat menghormati siswa secara utuh. Kedua, guru merupakan key succes factor dalam keberhasilan budi pekerti. Dari guru siswa mendapatkan action exercise dari pembelajaran yang diberikan. Guru sebagai panutan hendaknya menjaga image dalam bersikap dan berperilaku. Ketiga, Budi pekerti dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah. Kempat, adanya kerjasama dan interaksi yang erat antara siswa, guru (sekolah), dan orang tua. 
Terkait dengan hal di atas, Hasil temuan dari universitas Harvard bahwa 85 % dari sebab-sebab kesuksesan, pencapaian sasaran, promosi jabatan, dan lain-lain adalah karena sikap-sikap seseorang. Hanya 15 % disebabkan oleh keahlian atau kompetensi teknis yang dimiliki (Ronnie, 2005:62). 
Namun sayangnya justru kemampuan yang bersifat teknis ini yang menjadi primadona dalam istisusi pendidikan yang dianggap modern sekarang ini. Bahkan kompetensi teknis ini dijadikan basis utama dari proses belajar mengajar. Jelas hal ini bukan solusi, bahkan akan membuat permasalahan semakin menjadi. Semakin menggelembung dan semakin sulit untuk diatasi. 
Menurut Danni Ronnie M ada enam belas pilar agar guru dapat mengajar dengan hati. Keenam belas pilar tersebut menekankan pada sikap dan perilaku pendidik untuk mengembangkan potensi peserta didik. Enam belas pilar pembentukan karakter yang harus dimiliki seorang guru, antara lain:
a)       kasih sayang,
b)      penghargaan,
c)      pemberian ruang untuk mengembangkan diri,
d)     kepercayaan,
e)      kerjasama,
f)        saling berbagi
g)      saling memotivasi
h)      saling mendengarkan
i)        saling berinteraksi secara positif
j)        saling menanamkan nilai-nilai moral, 
k)      saling mengingatkan dengan ketulusan hati,
l)        saling menularkan antusiasme,
m)     saling menggali potensi diri, 
n)      saling mengajari dengan kerendahan hati,
o)      saling menginsiprasi,
p)      saling menghormati perbedaan.
Jika para pendidik menyadari dan memiliki dan menerapkan 16 pilar pembangunan karakter tersebut jelas akan memberikan sumbangsih yang luar biasa kepada masyarakat dan negaranya.

4.      Faktor Penyebab Sikap dan Perilaku Guru Menyimpang
Pendidikan merupakan upaya untuk mencerdaskan anak bangsa. Berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan telah dilaksanakan walapun belum menunjukkan hasil yang optimal. Pendidikan tidak bisa lepas dari siswa atau peserta didik. Siswa merupakan subjek didik yang harus diakui keberadaannya. Berbagai karakter siswa dan potensi dalam dirinya tidak boleh diabaikan begitu saja. Tugas utama guru mendidik dan mengembangkan berbagai potensi itu. 
Jika ada pendidik (guru) yang sikap dan perilakunya menyimpang karena dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, adanya malpraktik yaitu melakukan praktik yang salah, miskonsep. Guru salah dalam menerapkan hukuman pada siswa. Apapun alasannya tindakan kekerasan maupun pencabulan guru terhadap siswa merupakan suatu pelanggaran.
Kedua, kurang siapnya guru maupun siswa secara fisik, mental, maupun emosional. Kesiapan fisik, mental, dan emosional guru maupun siswa sangat diperlukan. Jika kedua belah pihak siap secara fisik, mental, dan emosional, proses belajar mengajar akan lancar, interaksi siswa dan guru pun akan terjalin harmonis layaknya orang tua dengan anaknya. 
Ketiga, kurangnya penanaman budi pekerti di sekolah. Pelajaran budi pekerti sekarang ini sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada sifatnya hanya sebagai pelengkap, lantaran diintegrasikan dengan berbagai mata pelajaran yang ada. Namun realitas di lapangan pelajaran yang didapat siswa kebanyakan hanya dijejali berbagai materi. Sehingga nilai-nilai budi pekerti yang harus diajarkan justru dilupakan. 
Selain dari ketiga faktor di atas, juga dipengaruhi oleh tipe-tipe kejiwaan seperti yang diungkapkan Plato dalam "Tipologo Plato", bahwa fungsi jiwa ada tiga, yaitu: fikiran, kemauan, dan perasaan. Pikiran berkedudukan di kepala, kemauan berkedudukan dalam dada, dan perasaan berkedudukan dalam tubuh bagian bawah. Atas perbedaan tersebut Plato juga membedakan bahwa pikiran itu sumber kebijakasanaan, kemauan sumber keberanian, dan perasaan sumber kekuatan menahan hawa nafsu. 
Jika pikiran, kemauan, perasaan tidak sinkron akan menimbulkan permasalahan. Perasaan tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, akibatnya kemauan tidak terkendali dan pikiran tidak dapat berpikir bijak. Agar pendidikan di Indonesia berhasil, paling tidak pendidik memahami faktor-faktor tersebut. Kemudian mampu mengantisipasinya dengan baik. Sehingga kesalahan-kesalahan guru dalam sikap dan perilaku dapat dihindari. 
Faktor lain, yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang adalah sebagai kerikut:
a)      Longgarnya pengangan terhadap agama.
Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana dari segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilang kekuatan pengontrol yang ada di dalam dirinya. Tetapi jika setiap orang (siswa, guru, dan kepala sekolah) teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat (misalnya pengawasan Kepala Sekolah kepada guru-guru), karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar peraturan sekolah yang ditetapkan dan hukum-hukum dan ketentuan-ketenyuan Tuhan.
b)      Kurng efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat.
Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut yang semestinya. Pembinaan moral di rumah tangga harus dilakukan dari sejak anak maih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-basat dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghafalkan rumus tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan.
Sekolah pun dapat mengambil peran yang penting dalam membina moral anak didik. Sekolah menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan demikian, sekolah menjadi lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian dapat berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama di sekolah harus dilakukan secara intensif agar ilmu dan amal dapat dirasakan anak didik di sekolah. Karena apabila pendidikan agama di abaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima di rumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang.
Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang yang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan morar di kalangan pelajar, dan guru, karena tidak efektifnya keluarga, sekolah, dan masyarakat  dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
c)      Derasnya arus budaya materialistik, hedonistik, dan sekularistik.
Sekarang ini sudah sering kita dengar dari radio, bacaan surat kabar, dan berita di TV tentang anak sekolah dan bahkan guru yang ditemukan polisi mengantongi obat-obat terlarang, alat-alat kontrasepsi seperti kondom, mencabuli anak di bawah umur, menyimpan benda-benda tajam. Semua alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
d)     Belum ada kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukkan kemauan yang sungguh-sumgguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, dan kekayaan dengan cara-cara yang tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum ada tanda-tanda untuk hilang.
Bagaimanapun juga kualitas pendidikan di Indonesia harus mampu bersaing di dunia internasional. Sikap dan perilaku profesional seorang pendidik akan mampu membawa dunia pendidikan lebih berkualitas. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional Indonesia yaitu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

C.    PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dan perilaku guru yang profesional adalah mampu menjadi teladan bagi para peserta didik, mampu mengembangkan kompetensi dalam dirinya, dan mampu mengembangkan potensi para peserta didik. Sikap dan perilaku guru yang profesional mencakup enam belas pilar dalam pembangun karakter. Keenam belas pilar tersebut, yakni kasih sayang, penghargaan, pemberian ruang untuk mengembangkan diri, kepercayaan, kerjasama, saling berbagi, saling memotivasi, saling mendengarkan, saling berinteraksi secara positif, saling menanamkan nilai-nilai moral, saling mengingatkan dengan ketulusan hati, saling menularkan antusiasme, saling menggali potensi diri, saling mengajari dengan kerendahan hati, saling menginsiprasi, saling menghormati perbedaan. 
Sikap dan perilaku guru dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhinya berupa faktor eksternal dan internal. Oleh karena itu pendidik harus mampu mengatasi apabila kedua faktor tersebut menimbulkan hal-hal yang negatif. Para pendidik, calon pendidik, dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai memahami, menerapkan, dan mengembangkan sikap-sikap serta perilaku dalam dunia pendidikan melalui teladan baik dalam pikiran, ucapan, dan tindakan.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Rozak. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Azwar Saifuddin. 2000. Sikap Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 
Mar'at. 1981. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia Indonesia. 
Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Ronnie M. Dani. 2005. Seni Mengajar dengan Hati. Jakarta: Alex Media Komputindo. 
R. Tantiningsih. 2005. Guru Cengkiling dan Amoral. Koran Harian Sore Wawasan. 14 Mei 2005. 
Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: BP. Media Pustaka Mandiri. 
Walgito. Bimo 1990. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.
Sumber : http://yudhim.blogspot.com/2008/01/sikap-dan-perilaku-guru-yang.html










Tidak ada komentar:

Posting Komentar